Jalan Pagi ke Peranakan Museum
Patung 'penyambut tamu' di depan Peranakan Museum |
Sabtu, 16 Februari 2013. Ini hari terakhir media fam trip di Singapura. Menurut itinerary, kami baru akan menuju bandara pukul 11.00 siang. Nah, ada waktu beberapa saat yang bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan. Pilihan jalan-jalan pagi itu adalah dua museum yang kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari hotel dan kebetulan (lagi) keduanya 'bertetangga': Museum Peranakan dan Museum Perangko.
Selesai sarapan, rombongan yang berminat ke museum sudah berkumpul Jumlahnya hanya empat orang: saya, mbak Aan, mbak Inggrid, dan Lia. Sepakat kami memilih taksi agar lebih cepat sampai tujuan. Hanya perlu waktu kurang lebih 7 menit, dua museum tujuan kami sudah terlihat. Yang pertama adalah Singapore Philately Museum dan yang kedua Museum Peranakan. Tujuan pertama adalah Museum Peranakan. Masih dini saat kami tiba. Museum pun belum tampak dibuka. Tapi saya senang-senang saja menunggu karena bangunan museum yang terletak di 39 Armenian Street itu amat cantik: bertingkat tiga, dengan gaya bangunan 'Eclectic Clasical Style', di dominasi warna putih susu dengan sedikit aksen hijau telur asin. Bentuknya yang simetris dan bergalur adalah mengambil ciri khas arsitektur klasik. Sementara bagian balkonnya menggunakan fasad bergaya tropis dan kolonial. Bagaimana di bagian dalamnya? Di dalam sana 'aroma' perempuan terasa kental menghiasi dinding dan setiap ornamennya. Ini karena warna-warna pastel dan pilihan motif berupa bunga dan kupu-lupu cukup mendominasi.
Peranakan Museum |
Setelah membayar tiket seharga $SG6, kami dipersilahkan memasuki sebuah ruangan di sisi kiri dari pintu masuk. Disana, foto-foto berukuran besar menyambut kami. Mereka yang ada di dalam foto itu adalah warga Singapura, entah dari etnis Melayu, China, India, atau percampuran di antara mereka. Kata-kata yang saya kutip di atas memang ditemui di sini.
Baju tradisional perempuan Singapura |
campuran menjadi inspirasi museum ini. Hmm, saya jadi punya pikiran, seandainya Indonesia punya museum seperti ini, isinya pasti jauh lebih beragam dan harus bisa lebih menarik. Mulai dari ujung barat Sumatera, sampai ujung Timur Papua, pastinya tak terhitung percampuran yang terjadi disana.
Main-main dengan mesin embos, seru! |
Keseruan lainnya adalah saat melewati galeri kematian yang terletak di lantai paling atas. Karena hari itu kami kesana pagi-pagi, belum banyak orang mendatangi museum itu. Di ruangan itu ada sebuah peti yang ditutupi kain bermotif bunga aneka warna. Terpampang juga foto dari seseorang yang ceritanya berada di dalam peti itu (tapi enggak ada orang kok, dalam peti itu). Yang bikin sedikit takut, begitu masuk, terdengar saura wanita yang sedang meratap, menangisi kematian seseorang. Hmm, terbayang ya. Di ruangan yang bernuansa sedikit spooky, tiba-tiba terdengar suara wanita menangis dari audio yang memang di rancang untuk mendukung suasana di galeri itu. Saya jadi tidak mau berlama-lama di ruangan itu.
Lantai terakhir Museum Peranakan itu juga punya sudut-sudut tentang agama yang dianut masyarakat
Singapura, kuliner dan budaya makan bersama keluarga di Singapura, peralatan memasak, orang-orang peranakan ternama, juga perkembangan kebudayaan peranakan hingga saat ini. Untuk mereka yang senang dengan kebudayaan, rasanya amat sayang kalau melewatkan museum ini.
Comments
Post a Comment