Market Values (Wanna Be) at Tiong Bahru Market, Singapore

Saya berkesempatan (lagi) mengunjungi Singapura, karena undangan untuk media. Kali ini, undangan datang dari Singapore Tourism Board, dalam rangka event "All That Matters 2014". Tapi tidak, saya tidak akan cerita tentang event itu disini. Karena cerita tentang event itu  harus ada di area, bukan di blog pribadi saya. Jadi disini saya akan cerita tentang keisengan saya di pagi hari, saat berkesempatan mengunjungi Singapura, 22 hingga 25 Mei lalu.

Tampak depan Tiong Bahru Market
Untuk penggemar National Geographic People, rasanya pasti kenal dengan acara Market Values yang dibawakan oleh Ishai Golan. Ishai melakukan perjalanan ke berbagai negara dan belajar banyak hal tentang negara itu melalui....pasar. Iya, lewat pasar ternyata bisa terungkap bagaimana budaya, interaksi masyarakat, gambaran negara, makanan dan minuman khas, kebiasaan-kebiasaan, sayur dan buah lokal dari sebuah tempat. Terinspirasi dari apa yang dilakukan Ishai, di 24 Mei 2014, saya nekat jalan sendirian ke Pasar Tiong Bahru yang kebetulan letaknya tidak jauh dari Wangz Hotel, tempat saya menginap.

Perjalanan saya ke Pasar Tiong Bahru sebenarnya tidak direncanakan. Hanya karena bosan di hotel, saya putuskan keluar. Mengikuti kata hati, "Lurus aja. Ah, belok kanan, deh. Lurus lagi aja, kali, ya," dan ternyata perjalanan itu membawa saya ke depan Pasar Tiong Bahru. Sempat ragu, sih, sebelum masuk. Tapi akhirnya saya nekat, karena pikir saya, inilah saatnya membuktikan kata nenek Ishai. Yup, menurut sang nenek, "If you want to learn about other culture, go to their market. Meet local people, and interact with them."

Kios buah di Tiong Bahru Market
Sambil sedikit takut-takut, saya berjalan memasuki Pasar Tiong Bahru. Kios-kios jualan kain dan baju yang menjadi penyambut kedatangan saya. Selanjutnya saya terus menyusuri pasar itu. Melihat pedagang sayur, buah, bumbu-bumbuan, daging, ikan, dan bunga. Sepintas,  semua yang didagangkan amat mirip dengan pasar di Indonesia. Tapi, urusan kebersihan dan kerapihan, Pasar Tiong Bahru sangat jauh melesat. Yang bikin saya kagum (dan langsung membuat saya sedih sebagai orang Indonesia), Pasar Tiong Bahru ternyata bukan hanya jadi tempat belanja penduduk lokal. Terlihat juga beberapa orang asing yang berbelanja di sana. Mereka sepertinya para ekspatriat yang bekerja di Singapura. Sambil membawa keranjang yang bisa ditarik seperti koper, mereka membeli sayuran, daging, dan bumbu lokal. Seru melihatnya.

Saya memang tidak melihat ada supermarket di Singapura . Sepertinya nih, -pemikiran pribadi yang mungkin ngasal- pemerintah Singapura amat melindungi pedagang lokal disana. Membiarkan mereka 'hidup' dan menguasai pasar, tentunya dengan maksud meratakan ekonomi. Saya langsung ingat Jakarta. Pasar di Jakarta, sejauh yang pernah saya datangi (Pasar Pondok Labu, Pasar Blok M (dulu, sebelum terbakar dan akhirnya sekarang jadi Blok M Square :(  ), Pasar Mayestik -terakhir saya ke sana masih dibangun, jadi pasar daruratnya sama saja keadaannya dengan sebelum dibangun, Pasar Jati Negara),  enggak ada yang rapi dan bersih. Semuanya berantakan, tidak teratur. Belum lagi becek dan bau. Saya jadi berpikir, jangan-jangan, gambaran suatu pasar, ikut jadi gambaran suatu negara. Pasar Tiong Bahru begitu rapi, teratur, dan amat menyenangkan berjalan disana. Dan jelas, Singapura adalah negara yang rapi, bersih, tertib. Sementara pasar di Jakarta :(. Duh, jadi sedih sekaligus malu, deh. Belum lagi begitu mudahnya kita menjumpai supermarket di Jakarta :(   Ah, seandainya saja pasar-pasar di jakarta seperti Tiong Bahru, rasanya sih, bukan tidak mungkin supermarket akan berguguran satu persatu.

Oh iya, ada yang menarik saat saya berkeliling di Tiong Bahru. Saya menjumpai beberapa kios yang menjual daging babi. Yang menarik perhatian saya, di neon box kios itu tertulis Pork from Indonesia. Saya menjumpai paling tidak ada tiga kios yang seperti itu. Jadi penasaran, apa daging babi dari Indonesia itu rasanya lebih enak dan di jual lebih mahal, atau justru daging babi dari Indonesia harganya lebih murah? Sayangnya saya tidak memberanikan diri untuk bertanya. Ini bisa jadi pelajaran kalau saya punya kesempatan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri dan jalan-jalan ke pasar lokal: jangan takut untuk bertanya dan berinteraksi dengan warga lokal!

Pusat jajanan Tiong Bahru Market
Antrian di Coffee Stall #238
Perjalanan di Tiong Bahru berlanjut, saya naik ke lantai dua. Ternyata, di sini lah pusat jajanan pasar ini. Saya berkeliling, melihat-lihat apa saja makanan yang dijual. Pusat jajanannya luas. Mirip pusat jajanan di mall di Jakarta. Pengunjung bebas memilih ingin makan apa saja: bubur, roti, bak chor mee, atau hainanese curry rice. Sayangnya saya sudah sarapan di hotel. Tapi rasanya tidak sah jalan-jalan ke pasar lokal kalau tidak mencicip makanan disana. Akhirnya saya putuskan untuk membeli kopi di kedai yang pasang nama 'Coffee Stall #238'. Meski bukan peminum kopi, tapi saya cukup penasaran dengan kopi Singapura. Apalagi 'Coffee Stall #238' tampak ramai antrian.







Kopi dari Coffee Stall #238
"Coffee, large," begitu ucap saya saat berdiri tepat di kedai itu. Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan menyebut nominal 80 cent  untuk secangkir kopi yang saya pesan. Khawatir kopi yang saya pesan benar-benar kopi pahit, saya bertanya, "With milk?" "Ya, ya, milk", jawab laki-laki itu. Peracik kopi di kedai itu seorang perempuan, kira-kira juga berusia 40 tahunan. Tangannya begitu lihai meracik gula, kopi, air, dan susu. Sebelum ia menuangkan kopi racikannya ke gelas, ia tumpahkan sedikit air panas ke dalam gelas, lalu dibuang. "Mengutamakan kebersihan. Bravo!", kata saya dalam hati.



Saya memilih meja tepat di seberang 'Coffee Stall #238'. Namun saya memilih duduk membelakangi kedai itu. Sambil menikmati kopi, mata ini sibuk memandang ke kiri dan kanan. Penasaran melihat aktivitas pagi warga Singapura di pasar.  Tentunya sambil minum kopi Singapura (tapi saya tidak yakin kopi itu asli Singapura karena setahu saya negeri itu tidak punya perkebunan apapun :D). Meski sudah bercampur susu, kopi yang saya minum tetap terasa pahit, meski tidak pekat. Tapi bedanya dari kopi yang biasa saya sesekali minum di rumah, kopi itu tidak menyisakan rasa asam. Lapis rasa pahit dan manis kopi itu terasa pas.

Green Bean Paste Biscuit
Sambil terus melihat-lihat, ternyata kedai di sisi kanan saya menjual roti. "Kayaknya enak nih, makan roti  sambil di celup ke kopi," pikir saya. Saya pun mendatangi kedai yang memiliki

neon box berwarna dasar orange dengan logo kartun laki-laki memakai topi koki di sisi kiri. Neon box itu bertuliskan  tulisan Tiongkok berwarna hitam. Di bagian bawahnya baru tertulis dalam bahasa latin: 'Sin Tong Nam #02-76'. Mengingat nilai tukar Rupiah ke Dolar Singapura cukup mahal, saya pilih roti yang harganya cukup murah (hahahaha). Pilihannya jatuh ke roti yang punya nama Green Bean Paste Biscuit. Isinya empat, harganya S$2.


Rupanya pilihan saya tidak salah. Rotinya enak. Meski bertekstur tidak terlalu lembut namun juga tidak kasar, tapi saya suka isiannya: kacang hijua yang dihaluskan. Rotinya manis, berpadu dengan halusan kacang hijau yang sedikit asin. Di celup ke kopi, hmmm, nikmaaat!

Tanpa sadar (dan padahal saya masih merasa sangat kenyang karena sudah sarapan di hotel), saya menghabiskan satu setengah potong Green Bean Paste Biscuit. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 11. Mengingat jam 12 saya akan dijemput guide untuk lanjut bekerja meliput "All That Matters 2014", saya pun menghabisi kopi saya (wow, saya sanggup menghabiskan kopi satu gelas berukuran besar, rupanya :D) dan melanjutkan perjalanan pulang ke hotel.

Market Values ala-ala Ishai Golan pertama saya cukup sukses, dan saya pun senang.


Comments

Popular posts from this blog

Jalan-Jalan Jakarta Lewat Susur Oranje Boulevard

Melaka, Antara Drama Mencari Hostel dan Resepsionis Ganteng