Jalan-Jalan Jakarta Lewat Susur Oranje Boulevard






Meski warga Jakarta, kalau saja ada yang bertanya pada saya bagaimana sejarah Taman Suropati, apa nama Jl. Diponegoro di masa Belanda berkuasa, bagaimana sejarah Fakultas Kedokteran UI, bisa dipastikan saya hanya bisa tersenyum kecut sambil menggeleng kepala. Iya, saya kurang tahu bagaimana asal mula kawasan Menteng dan sekitarnya. Saya juga tidak tahu bagaimana sejarah FK UI.

Peserta jalan-jalan menyusuri Oranje Boulevard bersama Jakarta Guide Guide

Ketidak tahuan itu berubah jadi penasaran, sebenarnya. Tapi sayang, cuma bisa dipendam, sampai suatu hari saya melihat postingan Jakarta Good Guide. Mereka mengumumkan akan buat acara jalan kaki menyusuri Oranje Boulevard. Saya yang senang jalan kaki dan mau tahu cerita salah satu sisi Jakarta, buru-buru ambil bagian ikut acara itu.


Peserta jalan kaki menyusuri Oranje Boulevard dikumpulkan di Taman Suropati. Di sini, sang guide yang bernama Mbak Mochi, cerita asal mula kawasan Menteng. Katanya, Oranje Boulevard itu adalah Jl. Pangeran Diponegoro, saat ini. Jalan ini dimulai dari perempatan lampu merah gedung Bappenas hingga perempatan lampu merah FK UI.


Tempat dimulainya tour jalan kaki menyusuri Oranje Boulevard


Suasana Minggu pagi di Taman Suropati



Sebelum bernama Jl. P. Diponegoro, kawasan ini bernama Oranje Boulevard. Ketika masa penjajahan berakhir, pemerintah mulai mengubah semua nama yang terdengar Belanda. Akhirnya, Oranje Boulevard, Nassau Boulevard, dan Van Heutsz Boulevard pun berubah nama menjadi: Jl. P. Diponegoro, Jl. Imam Bonjol, dan Jl. Teuku Umar.


Kawasan Menteng dibangun ketika pemerintahan Belanda merasa wilayah perkotaan (daerah Kota dan sekitarnya) semakin padat bangunan dan penduduk. Mereka mencari kawasan yang masih sepi untuk membangun vila dan perumahan. Yang mendapat mandat untuk membangun kawasan itu adalah NV de Bouwploeg, perusahaan real estate yang didirkan oleh PAJ Moojen, pada 1879. Sekarang, kantor perusahaan itu menjadi Masjid Cut Meutia.


Bouwploeg dan gado-gado boplo. Adakah hubungannya? Ternyata,  lidah orang Indonesia yang kaku menyebut Bouwploeg akhirnya membuat namanya berubah menjadi Boplo. Nah, gado-gado yang terkenal itu dulu hadir di Pasar Boplo.


Perjalanan berlanjut, kami mulai menyusuri rumah-rumah yang konon harga tanahnya termahal kedua di Jakarta, setelah kawasan SCBD. Rumah-rumah mewah di sini memang kebanyakan dihuni oleh pejabat negara atau negara tetangga. Ada rumah Duta Besar Amerika Serikat yang terletak persis di depan Taman Suropati, ada rumah dinas Wakil Presiden RI di seberang Taman Suropati. Ada juga kantor kedutaan negara lain. Yang terunik, kami melewati kedutaan negara yang baru pertama kali saya dengar: Republik San Marino.

Kedutaan besar Republik San Marino (negara yang baru saya dengar namanya)

Rumah duta besar Beland di Oranje Boulevard (sekarang Jl. P. Diponegoro)



Di antara rumah mewah itu, ada satu rumah yang menurut saya agak tragis nasibnya. Tepatnya rumah nomor 29, yang kini menjadi kantor DPP Pusat Perindo. Dulu, rumah ini adalah Museum Adam Malik. Kian mahalnya biaya perawatan rumah, pajak,  dan ketidak adaan dana (karena museum ini berstatus museum swasta, jadi tidak mendapat dana dari pemerintah), akhirnya museum itu terpaksa ditutup. Sayangnya, banyak barang-barang koleksi museum itu yang dijual. Padahal, ada banyak benda bersejarah di sana. Prasasti Shankara, misalnya.

Dulu, ini Museum Adam Malik. Sekarang menjadi kantor DPP Perindo


Perjalanan menuju ujung Jl. P. Diponegoro juga melewati gedung bersejarah bernama Metropole. Tapi, orang lebih senang menyebutnya Megaria. Bioscoop Metropool, begitu namanya ketika pertama kali hadir. Bioskop ini didirikan pada 1932, dan menjadi bioskop pertama di Jakarta hingga 1951. Film pertama yang diputar di bioskop ini adalah Annie Get Your Gun (1950).


Bioskop Metropole dengan bangunan bergaya Art Deco



Kami tiba di ujung Jl. P. Diponegoro. Tepatnya di kawasan RSCM-FK UI. Lagi-lagi Mbak Mochi cerita kisah awal berdirinya FK UI dan RSCM. Sejarah FK UI dimulai ketika wabah cacar melanda kawasan Hindia Belanda. Karena ongkos untuk mengirim dokter dari Belanda begitu mahal, akhirnya Pemerintah Kolonial menghadirkan sekolah pendidikan kedokteran bernama ‘Sekolah Dokter Jawa’, pada 1851. Di 1898, didirikan STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen), sekolah pendidikan kedokteran yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.




Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tepat jam 11.00, jalan-jalan sepanjang Oranje Boulevard selesai.  Sambil mencoba mengingat-ingat sejarah yang diceritakan Mbak Mochi, saya senyum-senyum senang karena dapat pelajaran seru hari ini. Duh, jadi enggak sabar mau ikutan jalan-jalan seperti ini lagi.


Comments

Popular posts from this blog

Market Values (Wanna Be) at Tiong Bahru Market, Singapore

Melaka, Antara Drama Mencari Hostel dan Resepsionis Ganteng