24 Jam di Melaka




Tiba di Melaka sore hari menjelang malam. Saya langsung menuju Bangunan Merah, ikon Melaka. Di sana sudah ramai wisatawan. Semuanya sibuk berfoto. Meski ingin segera bisa foto-foto juga, tapi rasa pegal karena backpack yang cukup berat segera menyadarkan diri sendiri untuk bergegas mencari hostel tempat menginap.


Senin, 12 Juni 2017

Pukul 20.30
Langit sudah cukup gelap ketika saya memutuskan untuk keluar setelah bersih-bersih di hostel. Tujuannya, kembali ke  Bangunan Merah. Rupanya tetap ramai di sana. Keunikan tiga bangunan di kawasan itu serta deretan beberapa sepeda hias lengkap dengan musik yang kencang dan lampu beraneka warna, menjadi magnet mengapa kawasan ini masih ramai. Semua sibuk berfoto, swafoto atau beramai-ramai. Sesekali terdengar percakapan dalam aneka bahasa: China, Inggris, Jerman, dan lainnya.
Bangunan Merah atau Stadthuys atau Red Square adalah kompleks bangunan yang terdiri dari Museum Sejarah dan Etnografi, Galeri Laksamana Cheng Ho, Museum Sastera, Museum Pemerintahan Demokrasi, dan Museum Yang Dipertuan Negeri. Sementara, di sisi kiri dari kompleks itu ada Christ Church serta Balai Seni Lukis Melaka. Tepat di depan Bangunan Merah ada air mancur Victoria,  taman yang asri, tulisan "I Love Melaka", dan Tan Beng Swee Clock Tower.


Rumah tua di kawasan Pecinan Melaka
Pukul 21.30
Saya putuskan untuk menyeberang ke arah Jonker Walk. Toko H&M dan Toko oleh-oleh San Shu Gong terlihat ramai pengunjung. Saya memilih untuk menyusuri jalanan dibanding melihat ke dalam dua toko itu. Penyusuran ke arah Lorong Hang Jebat membuat saya menemui banyak bangunan tua bergaya China. Beberapa diantaranya berfungsi menjadi toko, penginapan, tapi ada juga yang tetap menjadi rumah. Mural-mural turut menghiasi bangunan-bangunan itu. Ah, seronok sekali. Setelah puas menyusuri bagian ujung daerah Pecinan, saya kembali ke arah Toko H&M. Hasil riset dari internet bilang, kalau di belakang Hard Rock Cafe ada mural yang bagus untuk background foto. Saya mengarah ke sana. Ditemani penerangan lampu jalanan, mural di sana memang tampak menarik. Siang hari pasti lebih menarik, kata saya dalam hati. Beberapa jepretan saya ambil di sana. Setelah itu saya putuskan untuk mencoba Melaka's street food. Saya membeli bakso ikan, kepiting dan brokoli yang direbus. Semuanya dimakan dengan cara dicocol dengan saus yang serupa saos siomay namun rasa kacangnya tidak terlalu tebal. Setelah itu saya lalu pulang ke penginapan.


Selasa, 13 Juni 2017
Merpati menyambut matahari terbit di Melaka
Ratusan Merpati di Little India, Melaka

Pukul 07.00
Pukul 07.00 di Melaka tampak masih seperti pukul 05.30 di Jakarta, belum terlalu terang dan jalanan masih belum terlalu padat kendaraan. Udara pun masih amat bersahabat. Saya segera keluar hostel, menuju ke arah Little India. Pemandangan ratusan burung Merpati yang tampak terbang atau berdiam di Persimpangan Padang Nyiru sangat menarik perhatian saya. Sebelumnya, saya memang sudah pernah melihat foto milik seseorang yang memotret ratusan Merpati yang bergantung di kabel tiang listrik di kawasan ini. Jadi, memotret ratusan Merpati ini memang sudah masuk salah satu list yang harus saya lakukan di Melaka.
Saat sedang memotret, tetiba, seorang wanita berwajah India mendatangi ratusan Merpati itu. Rupanya ia memberi makan burung-burung itu. Si perempuan itu tampak dikerubuti para Merpati. Seru melihatnya. Oh iya, selain ratusan Merpati, Melaka juga punya 'anak kampung sini (akamsi)', yaitu burung Gagak. Suara riuh cuitan burung Gagak ini akan terdengar mulai saat matahari terbenam sampai pagi hari. Suaranya amat riuh. Dari kamar penginapan saya, suaranya jelas terdengar.


Little India, Melaka di pagi hari



Church of St. Francis Xavier


Pukul 08.00
Usai memotret Merpati, saya berjalan lagi ke arah Bangunan Merah. Sebelum tiba di sana, saya terpikat dengan satu bangunan gereja. Namanya Church of St. Francis Xavier. Tertulis, kalau gereja dengan cat berwarna khaki itu dibangun pada 1849.Katanya, gereja bergaya neo-gothik ini modelnya mengikuti bangunan Katedral St. Peter di Montpellier, Prancis Selatan.
Tiba di kawasan Bangunan Merah, masih sepi rupanya, kecuali warga lokal yang sedang berolahraga atau sekadar duduk-duduk. Saya kembali memotret Stadthuys, Christ Church, Balai Seni Lukis Melaka,  air mancur Victoria,  taman yang asri, tulisan "I Love Melaka", dan Tan Beng Swee Clock Tower. Tidak tertinggal replika kincir angin yang ada di seberang Bangunan Merah.

Balai Seni Lukis Melaka



Christ Church Melaka

Tan Beng Swee Clock Tower


Kincir angin di seberang Bangunan Merah


Pukul 09.00
Saya lalu meluncur ke arah Jalan Tun Tan Cheng Lock atau Heeren Street . Jalan ini juga dikenal dengan julukan 'Millionaires' Row' karena konon di pertengahan abad 19 dan awal abad 20, orang-orang kaya Melaka  tinggal di kawasan ini. Ada dua bangunan terkenal di jalan ini, yaitu Museum Baba & Nyonya serta Chee Mansion.
Buat saya, Chee Mansion adalah highlight dari semua bangunan yang ada di jalan ini. Bangunan megah dengan cat putih ini tampak mengambil gaya bangunan Belanda lengkap dengan semacam menara pengawas di tingkat paling atas. Pemilik rumah cantik ini adalah seorang konglomerat yang juga philantropist, Chee Swee Cheng. Ia adalah pemimpin pertama Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) di Malaysia. Chee Swee Cheng mendedikasikan pembangunan rumah mewah ini untuk sang ayah. Kini, selain dikenal sebagai Chee Mansion, tempat ini juga dikenal dengan nama Chee Yam Chuan Temple sekaligus sebagai rumah leluhur keluarga Chee.

Chee Mansion, rumah konglomerat sekaligus philantropist bernama Chee Swee Cheng

Pukul 10.00
Rasa lapar mendorong saya untuk menjelajahi Melaka lebih jauh. Saya penasaran dengan jalanan lurus dari arah perempatan Bangunan Merah. Rupanya, ke sana adalah  pusatnya kota Melaka. Ada perkantoran serta ruko dan mall di kawasan itu. Tulisan rumah makan Melayu India menggoda saya. Mau coba makanan India sebagai sarapan, pikir saya (saya sedang tidak berpuasa). Saat saya masuk dan bilang mau makan, penjaga restoran itu malah bertanya saya Muslim atau bukan. Saya jawab iya. Lalu dia bilang kalau saya tidak bisa beli makanan. Dia tunjukkan kertas yang tertempel di dinding. Intinya, Muslim tidak boleh makan saat puasa, kalau ketahuan restoran itu akan kena denda. Dang! Akhirnya, daripada cranky karena belum sarapan, saya putuskan untuk beli roti dan susu di 7-11, lalu kembali ke hotel untuk makan di sana.


Pukul 12.00
 Perut kenyang, saya putuskan untuk kembali berjalan-jalan melihat Melaka, meski siang itu amat terik dan lembab. Kali ini saya putuskan untuk menuju reruntuhan gereja St. Paul's. Ini adalah gereja tertua di Malaysia sekaligus di Asia Tenggara. Ia dibangun pada 1521. Sepintas, bangunan gereja ini mirip dengan sisa bangunan gereja St. Paul di Macau. Bedanya, kalau di Macau hanya menyisakan dinding bagian depan saja, sementara gereja di Melaka ini tidak lagi punya atap. Dari Bukit St. Paul's tempat reruntuhan gereja ini berada, terlihat Selat Melaka dari kejauhan. Terlihat juga kapal kayu berukuran besar berwarna cokelat. Rupanya, itu adalah kapal layar bernama Flor de La Mar. Kapal itu merupakan  Museum Maritim.

St. Paul's Church, gereja tertua di Asia Tenggara



Pukul 14.00
Rasa haus membuat saya sibuk mencari tempat menjual minuman. Saya putuskan untuk mengambil arah ke Museum Maritim. Ada beberapa warung yang buka. Saya ambil sekaleng minuman dingin rasa Leci. Sempat ragu untuk minum karena sedikit trauma dengan kejadian ditolak di restoran Melayu India. Tapi, rasa haus mengalahkan ketakutan itu.
Rasa haus hilang, saya kembali menelusuri Melaka.Kali ini saya mau foto-foto beragam mural yang digambar di rumah-rumah di pinggir Sungai Melaka. Perjalanan dimulai dari dekat Hard Rock Cafe. Saya kembali mendatangi mural yang semalam sudah saya lihat. Mural Kiehl's, begitu saya menyebutnya. Tampaknya ini salah satu mural favorit pengunjung Melaka. Ramai sekali di sana. Meski cuaca amat terik, mereka asyik berfoto di sana.
Selesai dari mural Kiehl's saya menyeberang, menyusuri jalanan di pinggir sungai. Rumah-rumah yang berfungsi sebagai cafe atau penginapan di pinggir sungai itu dipenuhi mural aneka gambar. Gambar bunga, gedung tinggi, makanan, bahkan etnis di Malaysia. Seru melihatnya. Penelusuran mural itu ditempuh sekitar kurang lebih 2 kilometer. Setelah sampai di ujung, saya putuskan untuk kembali menelusuri pinggiran Sungai Melaka, dari sisi kiri.

Mural Kiehl's di belakang Hard Rock C

Asyik berfoto dengan latar mural Kiehl's

Mural di sepanjang Sungai Melaka
Salah satu mural di rumah penduduk

Mural yang mewakili tiga etnis di Malaysia: Melayu, China dan India (sayang yang Melayu tidak terpotret)

Pukul 16.00

Melaka tampak akan hujan sore itu. Sebelum hujan benar-benar turun, saya putuskan untuk mencari tempat berteduh. Pilihannya adalah toko oleh-oleh San Shu Gong. Melaka terkenal dengan teh tariknya. Saya pun memutuskan untuk beli teh tarik di toko itu. Tak hanya teh tarik, Melaka juga dikenal dengan gula merahnya. Gula Melaka, begitu orang sana menyebutnya. Selain aneka gula merah dan teh tarik, toko ini juga menjual kopi, olahan makanan dari durian, dan aneka camilan. Saya tetap fokus pada teh tarik yang harganya tidak bisa dibilang bersahabat. Satu kotak teh tarik berisi 10 sachet harganya RM 10 atau sekitar Rp32.000.


Pukul 17.00
Saya putuskan untuk kembali ke penginapan. Rencananya adalah bersih-bersih lalu keluar lagi untuk mencari makan malam. Rupanya, hujan turun meski hanya gerimis. "Sayang, tidak ada sunset di hari ke dua ini", kata saya dalam hati.


Pukul 18.00
Saya siap mencari makan malam. Meski jam menunjukkan pukul 18.00, Melaka masih tampak seperti Jakarta saat pukul 17.00. Magrib memang baru akan datang di sekitar jam 19.20. Gerimis masih turun. Saya memutuskan untuk pergi ke arah pusat kota Melaka. Saya masih dibuat penasaran dengan restoran Melayu India yang tadi pagi menolak saya.
Di pusat kota Melaka saya mencoba mencari tempat makan khas Malaysia. Nyatanya, saya bertemu dengan tempat makan yang menjual nasi padang atau ayam penyet. Saya putuskan untuk membeli Tom Yam dan teh tarik. Sayang, angan-angan makan Tom Yum berkuah asam dan pedas yang pasti terasa segar tidak terwujud. Tom Yum itu sama sekali tidak ada rasa asam. Ia juga jauh dari rasa pedas. Isinya saja yang lumayan menghibur hati, udang yang cukup banyak. Teh tarik yang saya pesan juga terasa biasa saja. Tidak terlalu terasa susunya. Selesai makan, saya masih mau beli sesuatu yang manis. Mc Donald's adalah tujuan saya. Tadinya saya mau es krim, tapi gambar banana pie tampak lebih menggoda. Selain menjual apple pie, Mc Donald's di Melaka juga menjual banana pie. Penasaran dengan banana pie, saya pesan satu. Setelah itu saya langsung menuju restoran Melayu India. Saya ingin pesan nasi lemak namun sudah habis. Akhirnya, saya putuskan untuk beli nasi campur. Isinya: sarden, ayam gulai, telur serta sayur kembang kol. Ini menu untuk sahur nanti.


Pukul 20.30
Sebelum pulang ke Sayang Sayang 2 Youth Hostel, saya mampir di toko depan hostel. Kemarin saya sempat lihat es krim keluaran Nestle di toko itu. Ada es krim Milo, Crunch dan lainnya. Ini bikin penasaran. Apalagi, Milo Malaysia terkenal enak karena begitu terasa cokelatnya. Untuk menghilangkan rasa penasaran, saya membeli satu es krim Milo.
Sampai kamar saya langsung membuka banana pie yang dari tadi sudah bikin penasaran. Kulit pie yang crunchy itu segera saya gigit. Terlihat pisang yang sudah dihaluskan di dalamnya. Ya, kurang lebih seperti pisang goreng namun dengan bentuk yang dihancurkan lah, banana pie ini. Selesai makan banana pie, saya segera makan es krim Milo. Rasanya? Cokelat di es krim itu memang terasa lebih tebal dan tidak ada rasa pahit seperti yang dirasa kalau minum Milo. Yang pasti, kedua makanan manis itu benar-benar penutup sempurna untuk hari yang manis di Melaka.

Banana Pie

Banana Pie Mc Donald's Melaka

Es krim Milo yang rasanya sangat cokelat banget








Comments

Popular posts from this blog

Jalan-Jalan Jakarta Lewat Susur Oranje Boulevard

Market Values (Wanna Be) at Tiong Bahru Market, Singapore

Melaka, Antara Drama Mencari Hostel dan Resepsionis Ganteng