(Edu) Hostel, Yay or Nay?

Photo courtesy of Tripadvisor.com
Sejak lama saya ingin merasakan tinggal di sebuah hostel, ketika melakukan satu perjalanan. Dalam bayangan saya, tinggal di hostel berarti punya kesempatan untuk bertemu sekaligus kenalan dengan orang asing. Bukan cuma satu, mungkin bisa berkenalan dengan lima orang sekaligus. Bisa saling berbagi cerita tentang destinasi, atau rencana perjalanan selanjutnya. Lalu, memilih menginap di hostel berarti merasakan tidur di tempat tidur bertingkat yang sepertinya seru (hahaha, ini lebih ke norak, kayaknya).



Awal Agustus tiba-tiba saya punya ide, bagaimana kalau tahun ini agak istimewa saat ulang tahun: melakukan perjalanan ke suatu tempat. Setelah berpikir beberapa hari, akhirnya saya bulatkan tekad untuk mewujudkan ide ini. Pilih tempat yang dekat dan lumayan tahu saja dulu, pikir saya. Jogja menjadi pilihan kali ini. Kenapa Jogja? Karena saya punya rencana mau lihat matahari terbit di Borobudur tepat di hari ulang tahun, dan menutup hari dengan matahari tenggelam di Ratu Boko. Sempurna. Lagipula, saya sudah beberapa kali ke Jogja, jadi  tidak merasa asing dengan kota ini.



Setelah menyusun rencana, tiba giliran untuk memilih tempat menginap. Pencarian tempat menginap murah di seputar Malioboro mulai dilakukan. Salah satu tempat yang muncul adalah Edu Hostel. Hmm, tampak menarik juga kalau coba-coba menginap di hostel. Lagi-lagi dengan bayangan seperti yang saya tulis di atas. Apalagi, menginap di Edu Hostel cukup murah, hanya Rp 80.000 per malam. Edu Hostel pun jadi pilihan.



19 Agustus saya tiba di Jogja. Setelah istirahat sebentar di masjid DPRD dan sarapan di Malioboro, saya mulai jalan ke arah titik 0 Jogja, mencari Jl. Letjen Suprapto. Waze amat membantu saya dalam pencarian ini. Jarak Malioboro ke Letjen Suprapto ternyata cukup jauh, tapi karena saya senang jalan kaki, perjalanan itu saya nikmati. Bisa sambil lihat aktivitas warga Jogja di pagi hari. Setelah jalan kurang lebih dua puluh menit, saya tiba di Edu Hostel.




Pagi itu lobi Edu tampak cukup sibuk. Ada tiga orang perempuan yang sepertinya juga baru tiba. Lainnya, aktivitas tamu di Edu yang sepertinya akan jalan-jalan di seputaran Jogja. Saya langsung ke resepsionis. Kata mbak yang menjaga, check in baru nanti jam 15.00, kalau mau jalan-jalan, silahkan titip tas di sebuah ruangan yang ada di samping resepsionis. Karena waktu check-in masih lama, saya putuskan untuk langsung jalan ke Prambanan.


Tampak kamar 





Saya pulang dari Prambanan dan putar-putar Malioboro sekitar jam 20.30. Segera check in dan mendapat kamar di lantai dua. Kata mas yang sedang menjaga, saya sekamar dengan lima orang, dan dapat tempat tidur di bagian atas. Yay! Oh iya, Edu menyediakan kamar yang terpisah antara perempuan dan laki-laki.



Begitu saya buka kamar, ternyata kamar kosong. Hanya ada koper, tas, dan baju serta handuk yang di gantung di tempat tidur. Di sini saya mulai berpikir, oh, seperti ini ya, rasanya tinggal di hostel. Ada orang lain yang kita tidak tahu siapa mereka, dan belum tentu kita bisa bertemu dengan mereka. Tapi tiba-tiba ada pikiran aneh muncul. Hmm, agak menakutkan juga ya, ternyata sekamar dengan oang-orang asing. Jujur, sempat berpikir juga bagaimana kalau ternyata ada niatan jahat dari orang-orang yang tidak kita kenal itu. Mengingat, ada barang-barang yang di tinggal. Tapi segera saya tepis pikiran seperti itu. Tamu-tamu yang datang ke Edu  kan pastinya mau jalan-jalan, senang-senang, jadi enggak mungkin lah, kalau sampai punya niat jahat.



Tempat tidur penuh siksa ituh :D


Tiba waktunya untuk naik ke tempat tidur di bagian atas. Ya Tuhan, ternyata bagian yang menurut saya seru, justru tidak ada seru-serunya! Kaki saya sakit karena kebanyakan jalan kaki. Begitu harus naik tingkat yang hanya empat itu, nyatanya saya tidak kuat. Sial! Rupanya bukan hal yang baik dapat tempat tidur di bagian atas. Rasanya benar-benar jompo! Huhuhu. Dari situ saya mulai berpikir, oke, harus dipertimbangkan lagi kalau nginap di hostel. Jangan sampai dapat tempat tidur di bagian atas. Lebih menyebalkan lagi, saya harus naik turun beberapa kali: menaruh tas di lemari, mandi, mencharge handphone di dalam loker yang ada di bagian bawah , sikat gigi. Ugh.



Sekitar pukul 21.30 tiba-tiba pintu terbuka. Muncul lima wajah perempuan dibalik pintu. Saya spontan menyapa halo. Mereka hanya senyum saja. Suasana tiba-tiba terasa canggung. Krik-krik, pikir saya. Lalu, mereka sibuk beres-beres dan mandi. Sambil sesekali ngobrol sesama mereka. Tapi tak lama, salah satu dari mereka menyapa. Ia tanya, berapa hari saya di Jogja, saya jawab dua malam. Saya tanya balik mereka, kalian kapan datang? Mereka, mahasiswa dari Jakarta,  datang tanggal 18 Agustus dan akan nginap sampai 22 Agustus. Lalu, saya minta izin kalau nanti jam tiga saya akan bangun, jadi maaf kalau mungkin berisik. Mau persiapan melihat sunrise di Borobudur. “Oh, gak papa, mbak,” kata mereka. Tak lama, mereka pamit pergi lagi untuk makan malam. Saya pun tidur.



Jam  09.00 saya sudah tiba lagi di Jogja, setelah lihat sunrise di Borobudur. Kamar sepi. Rupanya mereka sudah pergi. Saya langsung naik ke tempat tidur (yang lagi-lagi jadi siksaan karena pijakannya cukup bikin sakit kaki), untuk ambil voucher sarapan.



Sarapan di Edu ada di lantai lima. Ruangan makannya cukup luas. Ada dua bagian, dalam dan luar ruangan. Di bagian luar ada seperti kolam yang katanya sebagai kolam celup kaki. Maksudnya, tamu bisa ngobrol sambil duduk di pinggir kolam dan mencelupkan kaki. Pemandangan di bagian luar juga menarik. Kelihatan Merapi di sisi kanan dan rumah penduduk serta perbukitan di arah depan.

Ruang makan


Untuk menu sarapan, pagi itu tersedia nasi kuning dengan telur dan kerupuk. Tampaknya hanya bisa ambil satu kali makanan, tidak boleh tambah. Ada ibu-ibu yang menaruhkan makanan ke atas piring. Kalau belum puas dengan sarapan dari Edu, tamu bisa top-up dengan pilihan roti dan selai juga scramble egg (harganya Rp20.000), cereal dan susu (Rp15.000), roti dan selai saja (lupa harganya berapa), atau menu eat like a local, begitu istilah mereka. Menunya (seingat saya) : nasi goreng, sate, nasi kuning, dan entah apalagi. Untuk harganya, saya lupa. Di beberapa menu, jika pesan sehari sebelumnya harganya berbeda (lebih murah) dengan kalau kita pesan hari itu juga. Untuk minum, Edu menyediakan teh manis dan kopi yang gulanya silahkan ditambah sendiri.

Pemandangan ke arah luar dari sisi kanan (seharusnya tampak Merapi dari kejauhan)


Menurut saya, ada satu hal yang cukup menarik di Edu (yang mungkin juga bisa ditemui di berbagai hostel), usai makan kita harus mengembalikan sendiri piring, sendok, garpu dan gelas ke tempat yang telah disediakan. Kalau baca dari semacam poster yang tertempel, ini untuk menghormati tamu lain yang akan makan dan membantu pihak hotel dalam berbenah.

Bagian luar, lokasi kolam celup



Samping lobi





Ruang santai



Setelah sarapan, saya coba lihat-lihat ruangan lainnya di Edu. Di setiap dinding Edu penuh dengan grafiti dan tulisan-tulisan unik. Salah satunya bagaimana caranya menjadi seorang yang sukses, dalam bahasa Inggris. Di lantai dua, tepat di atas resepsionis, ada ruang santai.  Di sana ada sofa dan karpet serta bantal duduk.  Juga satu televisi. Masih di lantai dua namun di seberang ruang santai, ada beberapa meja dan kursi. Semacam ruang kerja. Di seberang resepsionis ada meja panjang. Di sana ada sekitar delapan komputer yang bisa dipakai untuk berinternet. Di bagian bawah ada ruang pertemuan.



Ada dua tipe kamar di Edu. Yang pertama, kamar yang seperti saya pilih: satu kamar terdiri dari tiga tempat tidur tingkat. Berarti, satu kamarnya ada enam orang. Kamar lainnya adalah satu kamar terdiri dari empat orang. Ini untuk mereka yang memang datang berempat dan ingin privasi. Oh iya, waktu check out di Edu adalah jam 12.00, tapi kita bisa menitip barang 24 jam, tanpa harus bayar.




Apakah memilih nginap di hostel (dalam hal ini Edu) adalah sebuah pilihan yang “yay”? Menurut saya, iya. Tapi dengan catatan yang harus dicetak tebal dan garis bawahi untuk mereka yang sudah cukup berumur (OMG :P) jangan dapat tempat tidur di bagian atas. Dan, hostel ini bisa jadi pilihan tepat kalau cari tempat menginap yang ramah kantong kalau lagi bepergian di Jogja.

Comments

Popular posts from this blog

Market Values (Wanna Be) at Tiong Bahru Market, Singapore

Jalan-Jalan Jakarta Lewat Susur Oranje Boulevard

Melaka, Antara Drama Mencari Hostel dan Resepsionis Ganteng