Pesawatku Terbang Ke(mana saja), Ya?

 Tulisan ini sekedar iseng, mencoba mengingat perjalanan yang pernah saya lakukan menggunakan pesawat, mulai dari pertama kali, hingga perjalanan kemarin (9 Agustus 2014).


(Sumber foto: www.tupperwareforthoughts.blogspot.com)
Dulu, sewaktu kecil, setiap pesawat melintas di angkasa, -mungkin seperti anak-anak lainnya juga- saya sering bertanya-tanya, seperti apa ya, rasanya naik pesawat. Mungkin menyenangkan ada di antara langit dan awan. Mungkin juga menakutkan di atas sana. Rasanya seru, kali ya, bisa melihat awan yang putih bagai kapas. Segala rasa penasaran sewaktu saya kecil  itu akhirnya terjawab di tahun 2000. Yang jadi saksinya adalah perjalanan menuju Yogyakarta menggunakan Lion Air. Perjalanan itu saya lakukan bersama ibu. Rasanya campur aduk, antara senang dan deg-degan. Perjalanan dilakukan pada Jumat, di Agustus, sekitar pukul 16.00. Saya agak lupa dengan detil perjalanan itu, tapi ada satu hal yang benar-benar saya ingat: saat pesawat mulai berjalan cepat di landasannya, saya memegang kuat-kuat sandaran tangan. Tak lupa berdoa terus menerus. Begitu pesawat lepas landas, perasaan tegang kian menjadi. Apalagi saya seperti merasa pesawat berhenti, lalu terasa sang pilot seperti 'menekan gas' lalu pesawat mulai terbang lagi. Setelah terbang sekitar 15 menit, baru saya mulai menikmati rasanya naik pesawat. Mulai senyum-senyum sendiri melihat awan putih dan langit biru, sambil bilang, "Oh, begini ya, rasanya naik pesawat". Jakarta-Yogyakarta ditempuh dalam waktu 45 menit. Begitu pramugari mengumumkan kalau pesawat akan mendarat, posisi pesawat terbang lebih rendah. Terlihat jelas jalanan Yogyakarta dengan beragam kendaraan, bangunan rumah, juga anak-anak yang sedang berlarian. Menyenangkan melihatnya.


Cerita perjalanan kedua saya dengan pesawat terkait dengan kesenangan saya: berkelana. Sudah mulai kerja, punya uang sendiri, juga punya tabungan *Alhamdulilah. Uniey, sekutu di urusan berkelana mengajak ikut jalan-jalan ke Bromo-Sempu. Penasaran dengan pemandangan Bromo yang bikin takjub, saya mengiyakan. April 2009, rombongan berkelana ke Bromo-Sempu bertemu di Soeta Airport. Di perjalanan ini saya hanya kenal Uniey dan Teta. Selebihnya adalah teman-teman yang baru dikenal dari trip itu. Perjalanan ke Surabaya menggunakan maskapai Merpati. Di penerbangan kedua ini saya mulai tahu, oh ini, yang namanya delay karena penerbangan kami ke Surabaya terpaksa tertunda sekitar satu jam. Ini menjadi perjalanan malam saya yang pertama. Karena malam, enggak bisa melihat apa-apa. Perjalanan malam itu juga ditemani oleh turbulance yang bikin deg-degan. Sesekali terlihat juga kilatan petir.
Di perjalanan pulang  usai trip Bromo-Sempu, kembali naik Merpati yang lagi-lagi delay. Yang masih saya ingat dari perjalanan pulang itu adalah, saat di pesawat, saya menemui pramugari Merpati yang tampaknya orang Papua. Bukan maksud rasis, saya justru bangga dan senyum bahagia melihatnya. Di mata saya, ini nilai sangat plus dari maskapai Merpati. *Tapi sayangnya sekarang maskai ini sedang tidak beroperasi karena kondisi keuangan. Semoga nantinya ada tangan-tangan penyelamat untuk maskapai ini dan kembali terbang menjelajahi Indonesia).


Perjalanan ketiga naik pesawat adalah ke Palembang dengan Lion Air, di November 2010. Yang saya ingat dari perjalanan ini adalah drama. Dimulai dari saat itu saya sedang bisulan tepat di bokong. Delay menjadi siksaan tersendiri. Duduk salah, berdiri juga salah. Sepanjang waktu saya hanya bisa meringis bahkan hampir menangis (bisa banget rima-nya :D). Drama di bandara berlanjut di atas pesawat karena harus duduk selama 45 menit. Terpaksa saya terus menerus ubah posisi duduk, miring ke kanan, pindah lagi miring ke kiri. Aaargh!
Perjalanan pulang kembali ke Jakarta juga punya cerita seru. Saya pulang sendiri. Deg-degan sudah tentu. Membayangkan saya hanya sendirian di dalam pesawat, langsung terpikir hal-hal negatif: bagaimana kalau....bagaimana kalau....Ah sudah lah, pasrah saja. Saat menuju bangku yang tertera di tiket, ternyata bangku saya sudah ada yang menempati. Jeng-jeng-jeng-jeng. Seharusnya saya duduk di dekat jendela. Tapi ternyata bangku saya ditempati seorang ibu dan ada suaminya yang duduk di bagian tengah. Saya bilang kalau bangku di pinggir itu milik saya, tapi ternyata mereka  tidak bisa berbahasa Indonesia...ngok. Setelah saya melapor ke pramugari, akhirnya saya bisa duduk di dekat jendela.


Naik pesawat  untuk ke empat kali adalah merasakan naik maskapai berbiaya rendah yang paling tersohor: AirAsia. Tujuannya pun tempat impian yang juga tersohor: Pulau Dewata. Cerita perjalanan ini bermula dari seorang teman kantor tiba-tiba usul bikin trip ke Bali. Hasil berburu tiket murah, didapat November 2011. Itinerary dibuat, penginapan dan rental mobil di pesan. Ternyata dua teman mengundurkan diri karena mereka resign.  The show must go on, perburuan orang dimulai. Akhirnya didapat pengganti dua teman itu. Lima perempuan terbang ke Bali, hasil ceritanya adalah FUN! Di penerbangan kali ini enggak ada cerita istimewa, kecuali pesawatnya super duper dingiiiin!


Kelima kali naik pesawat adalah dalam rangka media fam trip ke Singapura dengan Tigerair Mandala, di 14 Februari 2013. Cerita tentang bagaimana saya bisa diajak media fam trip, bisa dibaca dalam beberapa bagian, disini, disini, dan disini. Ini perjalanan pertama saya ke luar Indonesia, rasanya campur aduk: senang tentu saja, ditambah juga dengan penasaran. Akhirnya ya, setelah tiga tahun bikin paspor, ada cap juga disana :))  Yang seru, di perjalanan pulang, saya dan seorang teman dari detik.com (mbak Aan), ditempatkan  di kelas business, bangku paling depan. Walaupun saya orangnya kecil dan dengkul tidak pernah bermasalah dengan bangku, tapi rasanya senang bisa duduk paling depan. Bisa keluar duluan :P


Cerita ke-enam naik pesawat adalah hanya berselang seminggu setelah pulang dari Singapura. Ini trip impulsif dari Uniey. Dia mau merayakan ulang tahunnya di luar kota. Tapi awalnya saya tidak tahu kalau trip ke Solo itu adalah dalam rangka Uniey berkontemplasi (maak, dudul ya, gue :)) maap yak!). Sabtu, 23 Februari 2013, pagi-pagi buta saya sudah menuju Soeta. Naik Lion Air yang kembali delay, akhirnya saya dan Uniey tiba di Solo (dan sempat melipir beberapa jam di Yogyakarta). (Suka deh, sama jalan-jalan random model begini. Hahahaha)


Ketujuh kalinya naik pesawat adalah kembali bersama TigerAir Mandala. Media Fam Trip lagi, kali ini inagural flight rute Jakarta-Yogyakarta. di Mei 2013. Paul Rombeek, Presiden Direktur Tigerair Mandala ikut ambil bagian di acara inagural ini. Di perjalanan udara menuju Yogyakarta, Tigerair Mandala memberi souvenir untuk semua penumpang. Pak Paul sendiri yang memberinya.


Ke Hong Kong saat Ramadhan di Juli 2013 menjadi penerbangan saya ke delapan dengan pesawat terbang. Lagi-lagi atas undangan Tigerair Mandala, dalam rangka inagural flight Jakarta-Hong Kong tanpa transit.


Kali ini saya naik Garuda Indonesia, untuk perjalanan ke sembilan. Wohooo! Hahaha, maaf norak. Keinginan untuk naik Garuda Indonesia akhirnya terwujud di 22 hingga 25 Mei 2014. Destinasinya adalah Singapura, atas undangan Singapore Tourism Board, meliput acara All That Matters. Perjalanan ini benar-benar bikin saya super duper deg-degan. Kenapa? Karena saya hanya berangkat sendiri! Sejak dari rumah sampai menuju bandara, yang terus menerus saya pikirkan adalah nanti gimana ya, di Singapura? Mesti ke arah mana keluarnya? Bagaimana kalau di imigrasi saya dipersulit? 
Kebodohan pertama dari perjalanan sendiri ini dimulai ketika dengan sok saya memilih menaruh tas yang isinya tidak seberapa itu ke dalam bagasi. Begitu sampai di Changi yang sangat luas itu, saya langsung bingung, kemana pintu keluarnya? Dimana tempat mengambil tas? Mana imigrasinya? Huhuhuhu. Akhirnya saya memutuskan bertanya pada petugas bandara. Seorang perempuan India membantu saya dengan menyuruh saya berjalan lurus, lalu nanti ketemu dengan eskalator. Disana tempat mengambil tas sekaligus pintu imigrasi. Saya coba ikuti arahannya. Sudah berjalan beberapa puluh meter, kok tidak juga terlihat ya, eskalatornya? Kembali saya panik. Akhirnya, saya memutuskan untuk bertanya lagi. Kali ini dengan petugas lainnya. Petugas berbadan tinggi dengan mata segaris itu mengarahkan saya untuk naik kereta menuju gate berikutnya. Ternyata letak gate itu memang jauh, mungkin ada sekitar beberapa ratus meter dari tempat saya keluar dari pesawat. Ngook. Keluar dari kereta memang langsung terlihat eskalator. Turun, menanti sebentar tas saya di depan ban berputar, dan langsung menuju imigarasi. Sang petugas laki-laki dengan wajah India memeriksa. "Will stay in Singapore for four days?" tanya dia. "Yes", jawab saya singkat saja. Selesai dia memberi cap, saya tak lupa mengucapkan terima kasih. Yeaaah, bisa juga ya, sendirian ke Singapura! *Joged-joged sambil berusaha ngelupain kepanikan enggak nemu eskalator :D
Kembali ke Jakarta, saya deg-degan lagi. Kali ini saya takut kalau sampai tidak ketemu dengan counter Garuda Indonesia dan salah gate. Lagi-lagi karena Changi begitu luas. Senjata utama kembali keluar: bertanya. Alhamdulilah semuanya lancar, enggak ada drama seperti kedatangan. Cukup bangga dengan diri sendiri karena bisa juga pergi-pulang (walaupun cuma ke Singapura) sendirian. Kayaknya harus dicoba lagi nih, jadi solo traveler ke luar Indonesia ;)


 Belitong. Itu destinasi saya yang ke sepuluh menggunakan pesawat terbang. Kali ini naik adiknya Garuda Indonesia, Citylink. Disini saya kembali jalan-jalan dengan Uniey dan tiga orang temannya. Saya sudah kenal salah satunya, Wantah, tapi baru berkenalan dengan Vita dan Dewi. Perjalanannya saat bulan puasa, di awal Juli lalu.


Ke sebelas kalinya naik pesawat adalah perjalanan ke Bali, atas undangan Tauzia Management untuk pembukaan Hotel Harris Seminyak Lagi-lagi naik Lion Air, di 8-9 Agustus kemarin. Sangat tumben di perjalanan pergi ini Lion Air tidak delay sama sekali. Tapi sayangnya saat pulang saya dan empat orang lainnya yang ikut dalam perjalanan ke Bali itu harus terkena delay hingga dua jam.


(Sumber foto: www.hepg.org)
Semoga perjalanan menyenangkan dengan pesawat terus berlanjut. Saya bisa mengunjungi banyak tempat, melihat dan belajar banyak hal, berteman dengan banyak orang, dan kian memahami sekaligus menghargai perbedaan :) .









*Edit

13 Agustus lalu saya melakukan birthday trip (meskipun lebih awal satu minggu) ke Lumajang-Purbolinggo dan Malang. Pesawat Batik Air membawa saya dan empat teman ke Surabaya. Ini pertama kali saya naik Batik Air. dengar-dengar, ini pesawat versi mahal dari grup Lion Air. Tentang terbang bersama Batik Air; keberangkatan tepat waktu. Karena tergolong premium, pesawat ini memberikan makanan (roti cokelat dan brownies yang buat saya rasanya enak karena manis dari cokelatnya benar-benar terasa) dan minuman berupa air mineral berukuran kecil. Pesawat ini juga menyediakan hiburan berupa lagu, film (Enigma) dan beberapa serial tv (dan saya kaget ketika melihat serial yang pernah menjadi favorit saya, How I Met Your Mother ditayangkan).
Kembali ke Jakarta kami menggunakan Lion Air. Saya sempat pasrah kalau harus mengalami delay yang menjadi ciri khas maskapai singa merah ini. Tapi nyatanya, pesawat kami justru berangkat 15 menit lebih cepat. Lucunya, kami mendarat di Terminal 3 Soekarno-Hatta, padahal seharusnya di Terminal 1. Walhasil, pesawat melaju menuju Terminal 1 dan kami juga harus menunggu beberapa saat sebelum benar-benar bisa keluar dari pesawat . Ujung-ujungnya, waktu kedatangan di Jakata tetap telat meski hanya beberapa menit.





Comments

Popular posts from this blog

Jalan-Jalan Jakarta Lewat Susur Oranje Boulevard

Market Values (Wanna Be) at Tiong Bahru Market, Singapore

Melaka, Antara Drama Mencari Hostel dan Resepsionis Ganteng